Kamis, 27 Desember 2012

MY ORDINARI NOVEL #PART 2

Waktu berputar sangat lama bagi Chacha. Jam dinding di kelasnya bergerak sangatlah lambat. Chacha sudah tidak sabar menunggu bel pulang. Walaupun sudah tidak ada pelajaran, para murid kelas 6 harus tetap masuk seperti biasa dan pulang seperti biasanya.
Saat yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Bel pulang berdentang dengan riangnya. Tanda para siswa sudah diperbolehkan untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Chacha segera merapikan alat-alat tulisnya yang masih berserakkan di atas meja. Dimasukkannya semua itu kedalam tempat pensil ungu bergambar kelinci kesukaannya.
Chacha sudah siap. Tas sekolahnya sudah bertengger dengan manis di atas pundaknya. Ketua kelasnya segera memberikan aba-aba untuk berdo’a. Selesai berdo’a teman-teman sekelasnya berbondong-bondong keluar kelas setelah sebelumnya memberikan salam perpisahan kepada wali kelas meraka, yaitu Bu Inggrid.
“Cha, kok kamu nggak pulang? Kan udah bel,” tanya salah seorang teman Chacha. Saat itu ia melihat Chacha duduk kembali setelah memberikan salam kepada Bu Inggrid.
“nggak, ntar aja.”, jawab Chacha sambil tersenyum tipis.
“Oh, yaudah. Kalo gitu, aku duluan, ya!”, pamit temannya itu sambil melambaikan tangan ke arah Chacha. Chacha membalas lambaian tangan tersebut.
Lima belas menit telah berlalu. Kelas Chacha sudah benar-benar kosong. Tak ada satu orang penghuni pun yang ada di dalamnya, kecuali Chacha tentunya.
Setelah memastikan tak ada siapa pun yang melihat, Chacha meletakkan surat yang telah di tulisnya tadi di ata mejanya. Kemudian ia melenggang keluar kelas dengan senyum yang merekah di bibirnya.
***


Keesokkan harinya...
Chacha terbangun dari tidurnya dengan semangat yang baru. Ia sudah tak sabar untuk tiba di sekolah dan mendapat surat balasan dari Pangeran Kodok. Disibaknya dengan kasar bed cover yang menyelimutinya semalam. Segera, ia berlari menuju kamar mandi yang terletak di sudut kamarnya yang luas.
Beberapa saat kemudian, dia keluar dari dalam kamar mandi berbalut handuk yang menutupi kepala serta tubuhnya. Chacha pun segera berjalan menuju lemari pakaian lalu membukanya—yang berisi entah berapa ratus pakaian—dan mengambil seragam kebesarannya—kemeja putih dan rok merah serta tak lupa rompi merah—dari tumpukkan teratas.
Setelah itu, Chacha segera menyisir rambut hitamnya yang panjang sebahu dan mempercantiknya dengan sebuah bando dengan gambar kelinci favoritnya.
Chacha menatap bayangannya di cermin. Dia tersenyum tipis saat menatap pantulan dirinya. Segera dia menyambar tas sekolahnya yang tergelatak di meja belajar. Kemudian berlari kecil menuju pintu kamarnya. Membukanya, dan segera berlari menuruni tangga. Dua anak tangga terbawah di lompatinya sekaligus.
“Selamat pagi, Peri Kecilku!” sapa Papa dari meja makan. Papa telah siap dengan kemeja serta jas yang melekat di tubuhnya yang gagah. Sepotong roti bakar telah bertengger manis di atas piring di hadapannya.
“Selamat pagi juga, Papa!”jawab Chacha sambil tersenyum manis. Dia segera duduk di sebelah Papanya. Siap menyantap roti bakar miliknya.
“Ayo, rotinya dihabiskan. Susunya juga jangan lupa ya, Sayang”, Papa mengingatkan.
“Siap, Bos!” kata Chacha sambil tersenyum lebar—memperlihatkan giginya yang putih bersih dan rapi—dan mengangkat tangan kanannya, memberi hormat kepada sang Papa. Papa tersenyum melihat tingkah putrinya. Beliau pun segera menghabiskan roti bakar serta segelas susu segar kepunyaannya.
Melihat piring dan gelas Papanya yang telah bersih tanpa sisa serpihan roti sedikit pun, Chacha segera melahap sisa roti bakarnya, kemudian meneguk susunya hingga tandas, dan mengejar sang Papa yang telah berjalan lebih dulu menuju garasi.
Papa yang sudah lebih dulu masuk dan duduk di balik kemudi, segera memutar kunci kontak untuk memanaskan mesin mobil. Chacha yang telah sampai di garasi langsung berlari kecil memutari mobil. Membuka pintu penumpang di sebelah kiri Papa dan duduk dengan nyaman di samping sang Papa.
“Chacha, pakai seatbeltnya, dong. Masa harus diingatkan lagi, sih,” tegur Papa.
“Oh iya, Pa. Chacha lupa. Hehehe.... “ sambil menepuk dahinya, Chacha memasangkan seatbelt di tubuhnya.
“Sip! Sudah siap?” tanya Papa sambil menatap Putri kecilnya.
Chacha menganggukkan kepala. Mobil pun berjalan. Menyusuri jalan-jalan yang masih sepi—karena masih pagi—dan lancar.
Selalu menyenangkan saat-saat yang Chacha lalui bersama Papa. Walau Papa selau sibuk dengan pekerjaannya di kantor, namun beliau selau menyisihkan sebagian waktu yang beliau miliki di waktu senggang untuk dihabiskan bersama Peri Kecilnya. Chacha sangat mengerti dan memahami kesibukkan Papanya. Dia tak pernah mengeluh dan meminta lebih dari sang Papa. Dia sangat bangga dengan Papa, dan Chacha selalu menganggap Papanya adalah Anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada dirinya. Meskipun hanya sarapan serta berangkat sekolah bersama Papa, itu sudah cukup bagi Chacha.
Lima belas menit kemudian, mobil Papa berhenti di depan sebuah gerbang hitam yang tinggi dan besar. Itu gerbang sekolah Chacha. Chacha melepas seatbelt dan berpamitan kepada sang Papa. Seperti biasanya, sebelum putri kecilnya turun dari mobil, Papa selalu menggecup lembut kening putrinya. Setelah menutup pintu mobil, Chacha melambaikan tangan pada Papa. Papa membalas lambaian tersebut dari balik kaca mobil. Mobil pun melaju meninggalkan Chacha yang masih berdiri termenung di depan pintu gerbang.
Chacha tersenyum menyaksikan kepergian sang Papa. Dia pun balik badan dan berjalan menuju pintu gerbang sekolahnya bersama kerumunan murid-murid lainnya yang berbaur menjadi satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Dear My Dee Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea